Translate/Terjemahan

Rabu, 01 Mei 2013

CERPEN 1 CAMAR DI UJUNG SENJA

CAMAR DI UJUNG SENJA


     Tidak ada keraguan, layaknya daun menguning yang jatuh ke tanah. Layaknya lilin yang terbakar sedikit demi sedikit. Menebar sedikit asa tentang musim baru yang mungkin akan tersampaikan. Setidaknya, terdengar.
****
“ Lari Sam....! Beritahu teman yang lain, jangan pedulikan aku! Cepat lari! Cepaaatt ! “ Doni berteriak mencoba mengingatkan Samsul yang terlihat panik melihatnya  yang sudah di apit dua polisi kekar. Dua polisi lain sudah hampir bisa mengejar Samsul.
Samsul sedikit  melompat dan berlari sekencang yang dia bisa. Dia menabrak dua penjaja jamu yang sedang beristirahat di bawah pohon beringin besar itu. Tak lagi dipedulikannya sumpah serapah si tukang jamu yang marah besar karena botol-botolnya berserak berantakan.
Dengan terengah-engah dia akhirnya sampai di depan rumah  yang terlihat lapuk. Dia menoleh sejenak ke belakang dan sudah tidak melihat ada polisi yang mengikuti. Tak berapa lama, sirine patroli polisi terdengar mendekatinya. Segera dia meloncat masuk ke parit setinggi 80 cm. Cukuplah menyembunyikan tubuhnya. Keberadaannya mengusik kawanan tikus yang rupanya sedang asyik menikmati berbagai bahan dapur busuk yang di buang di sana oleh si Akiong.
Cukup lama juga ia bersembunyi disana. Sekitar pukul 7 barulah ia keluar dari sana. Dasar polisi bangsat, rutuknya dalam hati. Segera ia masuk ke rumah yang terlihat tak terawat itu. Cukup besar juga. Disana ia biasa tidur dan beristirahat. Segera ia membersihkan badan dan menikmati roti yang mulai terasa masam akibat reaksi jamur. Tangannya beberapa kali memencet-mencet tombol handphone. Tak lama kemudian dia duduk bersandar di sofa yang dulu berwarna hijau lumut itu, merenungkan sesuatu sampai ia tertidur.
****
Malam itu Teto  mengumpulkan semua anggotanya.  Terlihat di kursi goyang tua, Samsul yang sedang menikmati sebatang rokok. Kursi itu agak jauh dari kursi dan sofa lainnya yang biasa mereka gunakan untuk membicarakan sesuatu. Samsul seperti ingin memisahkan diri. Tak biasanya dia begitu. Teto yang akan memulai pembicaraan terlihat gusar.
“ Sam, kemarilah. Apa kau tak merasa perlu mendengar ini?” tanyanya sedikit geram.
“ Hey, mulai saja pembicaraannya. Aku bisa mendengarnya dengan jelas dari sini,” jawab Samsul tenang. Ia membuang puntung rokoknya dan menginjak-injaknya. Beberapa ekor semut ikut mati dibuatnya. Jarot memandang heran pada Samsul. Teto hanya mendengus kesal. Ia merasa tak dihargai sebagai pemimpin komplotan mereka. Sayangnya ia harus menahan emosinya sebab ia masih memerlukan Samsul yang merupakan sumber dana mereka selama ini. Sumber modal.
“ Baiklah. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Polisi rupanya sudah mulai mencium modus kita dalam transaksi. Aku baru saja mendengar kabar bahwa Doni sudah meninggal di tahanan,” Teto berucap lirih. Samsul seperti tersengat listrik mendengarnya.
“ Apa? Apa kau bilang? Doni meninggal? Bagaimana bisa? Bukankah kita menjamin keselamatan anggota kita?” Samsul bertanya histeris.
“ Diam kau! Memangnya kau pikir aku tidak berusaha hah??! ” Teto menyahut keras.
“ Kau memang tak becus. Kau hanya bisa diam, hanya bisa mengorbankan nyawa orang.”
Teto menggebrak meja begitu keras. Terlihat urat-urat lehernya mencuat ketat di permukaan kulitnya. Keringat mulai mengucur. Ia ingin sekali menghajar Samsul. Jarot terduduk dan mengusap keningnya. Ini hari yang berat.
“ Dan kau sampah, memangnya apa yang kau lakukan, heh?? Kau hanya bisa tertidur nyenyak di rumahmu yang besar itu! Oh aku tau, kau pasti menangis, mengingat hal ini pun terjadi pada orang tuamu. Mati. Meninggalkan kau,” Teto memojokkan Samsul.
Sleppp..!
Tangan Samsul yang tinggal beberapa senti dari muka Teto di tahan oleh Jarot. Anggota yang lain mulai resah.
“ Bukan begitu caranya,” kata Jarot. Perlahan tangan Samsul diturunkannya. Samsul masih mengepalkan tangannya.
“ Jangan pernah kau membicarakan orang tuaku. Kau tidak tau apapun tentang mereka !” Samsul langsung meninggalkan mereka.
Sepanjang jalan Samsul memikirkan kejadian yang belum lama berlalu. Terakhir kali Doni mengirim barang dengannya memang tercium oleh polisi dan Doni di bawa oleh mereka. Tetapi mati? Itu bukan berita bagus. Apalagi Doni tertangkap demi menyelamatkan dia. Lalu sekarang bagaimana? Dia menghentikan kendaraannya di jalanan sepi. Menelungkupkan kepala dan tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari matanya. Handphonenya berbunyi, menginstruksikan sesuatu.
Sementara itu Teto dan komplotannya mulai menyusun rencana baru, bagaimana cara pengiriman barang tanpa terendus oleh polisi.
****
“ Untunglah kali ini berhasil,” terdengar suara lega. Itu Jarot.
“ Ya, mungkin kita akan berhasil dengan cara ini,” oh itu suara leganya Teto.
Modus baru kembali mereka lakukan. Dengan uang dari pundi-pundi Samsul, ini jadi terasa mudah. Mereka menaruh barang haram itu  boneka-boneka yang menjadi kedok mereka. Yah, dengan sogok sana-sini dan pengemasan sempurna, modus mereka sepertinyaberhasil.
Belum lama mereka saling menyunggingkan senyum, terlihat dua orang anggota mereka berlari mendekati mereka. Jarot dan Teto mengerutkan kening.
“ Ada apa?” tanya Teto.
“ Bos, barang yang ke Samarinda berhasil di kirim, tapi...”
“ Tapi kenapa?” desak Teto.
“ Resi dan Anton mati bos !” kata si kurus.
“ Katanya ada bekas tembakan di kepala dan kaki mereka,” sambung si gempal.
“ Polisi?” tanya Jarot.
“ Bukan, belum tau siapa, tapi yang pasti bukan polisi,” jawab si gempal cepat.
Teto semakin mengerutkan kening. Lalu siapa? Saingan tidak punya. Kawanannya sudah terkenal sebagai penguasa daerah itu. Sialan, pikirnya.
“ Ya sudah, nanti aku pikirkan. Sekarang amankan dulu posisi kita,” Teto segera memutuskan. Beberapa motor terlihat keluar dari gang sempit itu. Menimbulkan suara bising sekali.
****
“ Bagus sekali, aku sangat suka caramu.”
“Iya kak, aku tau. Kau benar. Kita harus membuat perubahan memang.”
“ Berikutnya akan ku beritahu besok sore. Semua masih terkendali, jadi kau cukup menuruti apa kataku.” Tuuttt.
Telepon mati. Samsul mendesah kecil. Pembicaraan ini mulai membakar sesuatu dalam dirinya. Dua senjata di tangannya sudah memuntahkan beberapa peluru tadi. Ia tak menyangka orang tua Teto-lah yang membunuh orang tuanya. Memang selama ini ia dan kakaknya sengaja masuk ke komplotan Teto dan mencari fakta yang mungkin menguatkan dugaan mereka. Berpura-pura tidak saling kenal. Selanjutnya jika memang sudah yakin, tinggal menggunakan cara yang sudah lazim mereka gunakan. Bunuh. Tidak perlu ada pengacara, pasal-pasal, atau pengadilan. Toh semuanya hanya tikus-tikus yang rupanya sangat doyan uang. Itu sudah menjadi hal yang wajar di negara ini.
Samsul kembali mengisap rokok yang setia menemaninya. Secangkir kopi dan roti masam sisa entah kapan. Tidak lama lagi ini akan berakhir, pikirnya. Ia sudah mengalihkan hampir semua hartanya kepada kakaknya. Hanya menyisakan sedikit untuk masa tua, masa depannya. Ia sudah berencana akan pergi dan menetap di Wina setelah ini semua selesai.
****
Sudah beberapa bulan berlalu. Teto sudah gerah. Sudah puluhan anggotanya tewas secara misterius. Sisanya hengkang karena takut dengan kejadian-kejadian akhir-akhir ini.
Malam itu Teto mengumpulkan semua anggotanya. Mereka mengelilingi sebuah meja bundar yang lumayan besar.
“ Aku sudah muak. Benar-benar muak. Aku bingung bagaimana menghadapi si bangsat  itu. Dia sudah menghambat semuanya. Pengiriman barang akhir-akhir ini pun sudah semakin sering terlambat. Bagaimana, kita harus bagaimana?” suara Teto terasa berat. Yah, bagaimana tidak. Bisnisnya sudah agak bongkok menghadapi ini. Belum lagi memikirkan invasi dari kawanan lain yang mendengar kabar tentang kejatuhan mereka. Samsul pun sudah tidak bisa membantu dengan alasan perusahaannya mengalami pailit.
Terdengar suara berdehem dari sebelah Samsul. Jarot.
“ Begini saja, aku yang akan menanggung dana sementara ini. Kebetulan bisnisku sedang dalam keadaan baik. Kalian yang membantu merekrut anggota baru.” Ia  memecah kebuntuan.
Betul saja. Senyuman mengembang dari bibir Teto. Samsul hanya tersenyum. Satu senyum misterius juga tersungging di salah satu sudut ruangan itu. Samsul yakin, pasti ada tugas yang akan segera diterimanya begitu sampai di rumah.
****
Betul saja. Baru sampai di rumah ia sudah mendengar bunyi handphone.
“ Buat ini semakin ramai. Tidak boleh ada orang yang masuk lagi. Dengan cara apapun, halangi. Buat dia mati perlahan-lahan. Mati menderita. Lebih sakit dari orang tua kita.”
Sudah, itu saja. Samsul segera berkemas. Malam itu juga ia harus memulai petualangannya.
****
Angin sore yang dingin sedikit mengganggu Teto yang sedang memikirkan kelanjutan bisnis haramnya. Sudah lama juga. Ia termangu-mangu. Hanya menunggu giliran, sepertinya aku sudah akan mati juga, pikirnya. Belum lama ini ia mendengar mayat Jarot dan Samsul, orang terakhirnya, sudah ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Sayangnya ia tak bisa melihat keduanya. Tak mungkin ia berkeliaran dengan bebas. Bukan hanya karena polisi yang sudah mengenalinya. Tapi ancaman yang di tebarkan si pembunuh ini. Ia menyeruput kopi susu, satu-satunya yang menemaninya di saat ini.
Trakk ! Teepp! Drap drap drap. Terdengar suara langkah.
Teto sudah tak peduli. Ini malaikat mautku, pikirnya lagi. Perlahan ia mengambil pistol yang selalu di bawanya.
“ Samsul !  Jarot! Astaga, ternyata kalian masih hidup..aa..a..aku sangat senang,” tak terkira betapa terkejutnya Teto. Ia mendekat. Samsul dan Jarot masih diam di tempatnya dan Teto menghampirinya.
“ Eit ! jangan mendekat Teto, pistolku ini jauh lebih beringas dari yang kau pikir !” Samsul membentak.
“ Apa-apaan ini? Apa maksudmu? Kenapa jadi begini?” Teto keheranan. Setelah melihat senjata di tangan keduanya, Teto mulai berkesimpulan.
“ Oh, sekarang aku sudah mengerti. Ternyata kau, kau!! Aku tak menyangka sampai begini. Akhirnya begini. Baiklah, sekarang apa yang kau inginkan, hah??”suara Teto meninggi.
“ Diam kau bangsat ! kau pikir apa yang ku inginkan darimu?? Uang? Oh...aku sudah punya cukup banyak uang. Wanita? Memangnya siapa lagi yang ada di sampingmu? Keluarga? Oh kau juga tidak punya. Kau memang keturunan pembunuh. Ayahmu telah membunuh orang tuaku, keluargaku. Iya kan??” samsul menembakkan peluru ke atas.
“ Apa yang kau bicarakan? Ayahku tidak membunuh orang tuamu! Siapa yang membodohimu seperti itu Sam? Siapa? Jarot, berbicaralah, kau tahu aku tidak pernah terlibat,” Teto mencoba mencari pembelaan dari Jarot.
“ Hahaha...aku mau minum kopi dulu. Kalian teruskanlah dulu,” Jarot berujar santai.  Ia mereguk habis kopi susu bekas Teto yang ada di meja itu.
“ Hah??! Apa-apaan ini? Baiklah, baiklah. Sekarang, aku dan kau sudah di hadapan maut Samsul. Sayang sekali kita harus berakhir seperti ini. Dengar, aku tidak membu...”
Doorr!! Door!
Suara peluru menancap terdengar begitu nyaring. Beberapa burung camar terbang menjauh.
“ Apa yang kau lakukan hah?! Aku semakin tidak mengerti ! apa sebenarnya?” Teto berteriak keras, kali ini pada Jarot.
“ Kakak, apa ini?” kata Samsul lirih sembari memegangi dadanya yang tertembak. Ia tak menyangka malahdi tembak oleh Jarot. Ini sungguh tidak sesuai dengan rencana awal mereka tadi.
“ Kalian berisik sekali. Berteriak-teriak seperti itu,” jawab Jarot tenang.
Samsul memandangi kakaknya, mencari jawaban.
“ Hehe...aku juga bingung adikku. Sebentar aku cerna dulu. Oh ya, begini adikku, bukan orang tua Teto yang membunuh orang tua kita. Bukan. Kau memang bodoh, juga lemah. Sampai sekarang pun rupanya masih. Aku. Aku yang membunuh mereka semua. Aku bosan selalu jadi nomor dua. Selalu menunggu giliran, harus antri denganmu! Padahal aku sudah jelas lebih hebat darimu, dalam segala hal kecuali penurut. Aku tidak sepertimu yang menerima mentah segala aturan.  Aku bosan, adikku. Jadi ku putuskan untuk membunuh mereka dengan tanganku. Sayangnya, bahkan dalam wasiat pun mereka mewariskan padammu hampir semua hartanya. Selalu kau adikku dan aku benci itu.”
Doorr !
Satu lagi peluru tertancap. Kini di kaki kiri Samsul. Teto hanya bisa ternganga. Jarot mendekati Samsul. Membuang pistol yang sejatinya akan digunakan membunuh Teto. Srap....! pistol itu sudah masuk ke kolong kursi dekat Teto berdiri.
“ Adikku, kau perlu tau, aku ini iblis. Dan kau mau-maunya mengikuti semua perintah iblis. Kau memang penurut, lagi sensitif. Berbicara mengenai orang tua kita saja sudah cukup membuatmu blingsatan, panas, mau membunuh puluhan orang. Sedangkan aku, cukup duduk diam di kursiku,” Jarot kembali mengungkapkan semuanya. Kini Teto sudah cukup tau semuanya.
Doorr!
Satu peluru mendarat di leher Samsul. Dia sudah hampir tak bernyawa. Mungkin tinggal beberapa menit lagi.
“ Sampaikan salamku pada ayah dan ibu ya,” Jarot berkata sembari menendang Samsul sampai tengkurap. Perlahan Teto menggeser pistol Samsul.
“ Dan kau, kita belum usai, belum. Teto, Teto, burung beo, kau sungguh tidak pantas jadi pimpinanku. Seharusnya aku yang memimpinmu, biar kau bisa lihat bedanya.” Sekarang rupanya giliran Teto.
“ Oh silahkan, pimpin saja. Aku tidak perduli.”
“ Masanya sudah lewat Teto. Harusnya tahun lalu kau berkata begitu. Di tanganku usaha haram kita pasti tidak seperti ini. Tapi, kau, sok  memerintah! Padahal kau tidak tau apa-apa!”
Teto tidak sempat berkelit. Peluru Jarot sudah menembus perutnya. Ia terduduk bersimbah darah. Suara peluru yang kembali terdengar. Kali ini berasal dari pistol Teto. Dengan tangan kiri ia berhasil menembus dada Jarot.
“ Hahhhhh! Beraninya kau!”
Dooorr! Doorr! Doorr!
Entah sudah berapa peluru yang keluar dari sarangnya. Ketiganya kini bersimbah darah. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Samsul berusaha keras meraih pistolnya. Ia harus membunuh Jarot. Ia menyeret-nyeret tubuhnya. Akhirnya ia berhasil duduk di kursi. Ia kemudian mengambil pistolnya dan...
Doorr! Satu tembakan terakhir dilesatkan ke kepala Jarot.
Berakhirlah semua. Darah mengucur deras dari tubuh mereka bertiga. Beberapa hari kemudian jasad ketiganya ditemukan oleh polisi. Masyarakat mengadukan bau tidak sedap yang berasal dari rumah itu.****
Bukan raga yang tersiksa,
Bukan pula benda
Tetapi jiwa yang sakit yang hancur dan jadi bara

Bukan musim yang kusalahkan
Bukan pula mentari yang tak kunjung datang
Tetapi hati yang tak mau membuka

Ranah sepi mesti sudah terisi
Dengan merah, merah darahnya
Akhir masa bukan lagi impianku
Semua mengurai kepahitan

Asa terbawa oleh deru angin
Seperti dedaunan kuning yang dengan rendah hati telah jatuh
Menjadi sesuatu yang baru
Musim baru....
TAMAT
INDONESIA, 24 APRIL 2013
SELVIANTI SIMANULLANG
( DIMANA RAGA JADI DEBU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar